Karangasem, 6/11 (Atnews) - Pasraman Jiwan Muktigunung Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu Karangasem bermaksud mengembalikan martabat masyarakat Muntigunung Desa Tianyar Barat yang selama ini dikenal sebuatan sebagai pengemis.“Untuk itu, kami membangun patung Ida Betari Ayu Mas Mbah yang merupakan nama beliau ketika sebagai penjual air sebelum diberi gelar Ida Betara Dewi Danu,†kata Pendiri Pasraman Jiwan Mukti Muntigunung I Gede Agung Pasrisak Juliawan di Karangasem, Rabu (6/11).Upaya itu sebagai bentuk mengadakan permohonanan maaf kepada Ida Betara Dewi Danu karena ketika menjual air menjadi pria tua yang penuh kudis.Masyarakat setempat sempat menolak dan mengusirnya dari tempat tersebut.Dijelaskan lebih lanjut, Ida Bhatara Indra memberi putra keduanya sebuah tirta (mata air) yang disebut Mas Manik Mampeh di dekat Danau Batur. Ia memberi pesan agar air dari tirta tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh penduduk Batur sehingga Dewi Danu berniat menjualnya. Dewi Danu memasukkan air ke dalam dua buah labu pahit dan berubah menjadi pria tua yang penuh kudis. Setelah sampai di Dusun Bubung Kelambu, ia menuangkan sedikit air dari dalam labu karena khawatir airnya tumpah selama di perjalanan sehingga tempat tersebut selanjutnya diberi nama Tirta Mas Manik Mancur.Sesampainya di Munti Gunung, Dewi Danu menawarkan airnya kepada penduduk setempat, tetapi mereka merasa jijik dan menghinanya mirip pengemis. Dewi Danu kemudian mengutuk penduduk setempat untuk memperoleh penghidupan sebagai pengemis hingga kini. Para penduduk setempat di desa-desa yang dilewati Dewi Danu juga tidak ada yang bersedia membeli air yang dijualnya karena merasa jijik. Di Desa Les, Dewi Danu berhasil menjual airnya sebanyak dua kepeng, tetapi penduduk saat itu hanya mampu membayar satu kepeng. Selanjutnya, air yang dibeli penduduk diberi nama Toya Mampeh dan mereka diperbolehkan untuk menggantinya setiap tahun ke Batur. Di Desa Tejakula Buleleng, Dewi Danu menjual airnya dan dibayar dengan kerbau. Sesampai di Pantai Ponjok Batu, ia menuangkan airnya sedikit yang kemudian menjadi mata air dan dapat terlihat jika air laut sedang surut. Akhirnya Dewi Danu sampai di suatu tempat dan menuangkan semua airnya sambil berkata bahwa air tersebut tidak dapat digunakan untuk pertanian karena inih (irit). Semenjak saat itu, tempat tersebut diberi nama Yeh Sanih atau air inih/ irit.Saat kembali, Dewi Danu kembali berwujud putri cantik dan bermaksud menjual kerbau yang dimaksukkan ke dalam bambu. Penduduk Kubu Tambahan tidak percaya ada kerbau di dalam bambu sehingga mereka menuangnya. Pemuka adat Kubu Tambahan dan Bungkulan mengusir kerbau-kerbau tersebut sehingga berlarian melintasi berbagai desa. Dewi Danu memanggil kerbau-kerbau tersebut, tetapi seekor yang paling besar ternyata sudah disembelih oleh penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan. Karena marah, Dewi Danu berkata bahwa semua desa yang dilintasi kerbau-kerbaunya diwajibkan membayar pajak ke Batur sementara penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan wajib membayar seekor kerbau hidup ke Batur secara bergantian. Semua desa serta kerbau-kerbaunya yang Ia lintasi akhirnya menjadi pemuja di Pura Ulun Danu Batur.Selanjutnya Dewi Danu berubah wujud menjadi gadis desa yang berjualan gantal ("gulungan sirih yang digunakan untuk sesaji) di Kehen. Ida Batara Kehen melihatnya dan jatuh cinta kemudian memperkosa Dewi Danu karena Ia menolak untuk dinikahi. Dewi Danu yang murka akhirnya menciptakan Bukit Bangli yang membentang dari timur ke barat di selatan kota untuk menghalangi aliran air danau Batur agar tidak sampai di Kehen. Namun, Bhatara Kehen menciptakan belut dan kepiting besi untuk melubangi Bukit Bangli sehingga irigasi kembali berjalan.Saat kembali ke Batur, Dewi Danu meninggalkan mangkuk perunggunya di Kehen sehingga Ia mengutus anaknya untuk mengambil kembali. Bhatara Kehen yang masih kecewa tetap mengembalikan mangkuk tersebut tetapi akan menarik pajak sebesar 1300 kepeng jika sang dewi melewati wilayahnya di selatan saat hendak menjalankan ritual melasti (ritual pembersihan) di pantai. Dewi Danu membalasnya dengan mengatakan bahwa setiap balian yang memiliki genta di Bangli wajib membayar 225 kepeng ke Pura Batur. Maka dari itu, pihaknya yang juga membangun Pura Meru Tumpang Solas di Pura Puseh Bencinggah Agung Kulkul Desa Pekraman Muntigunung yang rampung tahun 2020 dapat dijadikan momentum membangun desa menjadi lebih baik dan bermartabat. (ART/02).
Baca Juga : Kembalikan Martabat Muntigunung Karangasem Dari Sebutan Pengemis
Get in Touch